Tema perfilman sekarang
semakin meluas seiring dengan perkembangan teknologi dan kebiasaan manusia.
Yang dulu seolah hanya menjadi imaji yang tak bisa diwujudkan, sekarang bahkan
terlihat 4D. nah, film yang ku-review
kali ini berjudul The Operator. Film ini rilis tahun 2016 dengan mengusung tema
kompleksitasnya kisah cinta di dunia yang maju.
Film ini dimulai dengan
dua orang tokoh utama – suami-istri – Joe Larsen (Martin Starr) dan Emily Klein
(Mae Whitman). Joe Larsen, seorang programmer yang sedang merancang proyek Welltrix
Health Care bersama dengan Timnya. Sementara Emily Klein bekerja sebagai
seorang customer service di sebuah hotel. Joe yang memiliki kepribadian
cenderung pemalu itu sangat percaya dengan statistik dalam memutuskan sesuatu.
Bahkan ia percaya bahwa diagram emosi dan kebutuhan personalnya harus tetap
terjaga agar kecocokan dirinya dengan sang istri terjaga dan tidak menyebabkan
mereka berpisah. Bahkan, di komputer maupun di Handphone Joe dipasang aplikasi
statistik tersebut. selain itu, poin penting dari kepribadian Joe adalah ia
seperti mengidap kecemasan berlebihan yang menyebabkan ia seperti seorang
pengidap narkotika tanpa obat. Satu-satunya yang dapat membuatnya tenang adalah
suara dari Emily. Itulah sebabnya ketika grafik emosinya tidak stabil, ia akan
segera menghubungi sang istri.
Berbeda dengan Joe yang
segala sesuatunya harus teratur, Emily menyukai kejutan. Meskipun begitu, pada
awalnya Emily tidak mempermasalahkan perbedaan itu. Kepribadian menarik lainnya
dari Emily adalah kemampuannya untuk menghipnotis seseorang lewat kata-kata. Ia
mampu membuat tenang seseorang yang emosinya sedang tidak stabil ataupun
membuat orang merasa tenang dan nyaman.
Permasalahan muncul
ketika Klien Joe merasa tokoh “Alexis” si suara robot yang direkam membuat para
konsumen Welltrix Health Care frustasi dengan cara pelayanan sang robot yang
memiliki kesan kepribadian yang tidak bersahabat. Klien membutuhkan suara baru
yang tidak hanya mampu bersimpati, namun sampai pada tahap yang lebih dalam lagi,
yaitu empati. Padahal sangat sulit untuk menujukkan empati lewat suara, apalagi
suara robot pada sebuah aplikasi smartphone.Hingga akhirnya, Joe mengajukan
suara Emily sebagai suara baru. Siapa sangka, suara baru itu sangat berhasil
dan proyek aplikasi inipun diluncurkan.
Masalah baru kemudian
muncul ketika Emily semakin terbawa ke dalam kegiatan barunya di sebuah
pementasan drama. Joe yang selalu membutuhkan Emily, akhirnya beralih ke suara
robot Emily dan lebih sering menelpon si robot dibandingkan sang istri yang
semakin sibuk. Hal ini ternyata membuat hubungan mereka semakin renggang,
hingga akhirnya membuat Emily cemburu kepada si robot dan berhenti berhubungan
dengan sang suami.
Selain itu, terungkap
bahwa di dalam aplikasi itu terdapat sebuah pemrograman rahasia berupa IVR yang
dirancang oleh Joe agar dapat mengakses “Emily” dengan lebih leluasa. Joe yang
sudah kehilangan Emily, sang istri juga harus dipaksa kehilangan suara “Emily”.
Lalu bagaimana kelanjutannya? Dapatkan Joe bersatu lagi dengan Emily?
Film ini, menurutku
sarat pesan. Kehidupan manusia yang semakin tak bisa lepas dengan gadget,
membuat mereka lebih sulit untuk berhubungan secara langsung dengan lingkungan
sosial nyata. Film ini seolah mengatakan “Seberapa besarpun empati yang ditunjukkan
oleh sebuah aplikasi ataupun seberapa besarpun kenyamanan yang diberikan oleh
sebuah aplikasi, mereka tetaplah program. Program yang dibuat seolah memiliki
hati” dan “tidaklah mungkin mereka dapat menggantikan manusia”.
Bagi
yang belum menonton, Hayo ditonton…
Bagi
yang sudah, bagaimana pendapat kalian tentang film ini?
Salam,