Beberapa buku psikologi perkembangan berserakan
di dekat tangan kiri Annisa. Kalau boleh dan kalau bisa, mungkin buku-buku di
hadapannya telah raib dari pandangan. Rasanya lelah mulai menggerayangi Annisa.
4 jam hanya untuk menatap isi buku yang sama. Kuis besok pagi di kelas Prof.
Harun terus membayangi matanya yang berulang kali membuka-tutup.
Kalau untuk mata kuliah lain ia bisa cukup
santai. Tapi untuk mata kuliah yang satu ini sungguh begitu sulit. Sangat
sedikit materi yang bisa ia tangkap. Metode yang dipakai-pun sungguh memperumit
pemikirannya. Benar-benar bukan mata kuliah idola.
TOK…TOK…
Sebuah ketukan cukup halus menyentuh daun pintu
kamar Annisa. Setelah mendapat persetujuan dari empunya kamar, yang mengetuk
pintu pun mendorong daun pintu ke dalam kamar Nisa. Annida tersenyum garing
sambil memegang kenop pintu.
“Kenapa Nid?” tanya Nisa keheranan.
Nida menarik napas namun dengan senyum yang tak
memudar. Sebenarnya Nisa juga sudah tahu apa yang mau dilaku’in teman
seasramanya ini.
“Nis, aku mau numpang nge-print ya” ucapnya sambil tersenyum.
Anggukkan Nisa membuat Nida berjalan maju makin
ke dalam kamar mendekati komputer Nisa. Karena sudah sering, jadi Nida sendiri
yang menghidupkan komputer. Nisa hanya memperhatikan dari meja belajarnya.
“Kau sudah hapal Nis?” tanyanya. Berhubung
mereka teman sefakultas, dan hampir selalu sekelas dalam tiap mata kuliah, jadi
Nida dan Nisa selalu saling mengingatkan.
Nisa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya
tanpa menjauhkan tatapan dari buku di hadapannya yang masih terbuka. “Kau?”
tanyanya.
“Aku menyerah Nis, usaha sudah. Jadi tinggal
berdo’a saja” ucapnya begitu pasrah. Ia memasukkan flashdisk-nya. Mengutak-atik layar di monitor.
“Semoga kita bisa, ya” ucap Nisa. Hahhh…inilah
nasib 2 orang yang sama fakultas, namun sama-sama payah di bidang yang sama.
Walhasil, mereka hanya bisa bahu-membahu untuk berbagi semangat.
Nisa beranjak malas mendekati Nida. Ia mengambil
beberapa kertas A4 dari bawah lacinya. Memasukkannya pada printer. “Kok sepi ya
Nid?” tanya Nisa.
Memang tak seperti biasanya asrama ini sepi.
Padahal kalau belum pukul 10 malam, di asrama ini begitu ramai. Sampai-sampai
Bu Aisyah yang punya asrama memberi julukan “Bebek Asrama” pada seluruh
anak-anak perempuan. Kebetulan enggak ada laki-laki di sini. Kok bisa? Namanya juga “Asrama
Wanita Aisyah”, mana ada laki-laki yang mau masuk ke asrama ini. kalau ia masih
mau masuk, itu berarti ia lelaki jadi-jadian.
“Sudah tidur, Nis. Gara-gara hujan tadi, udara
sekarang jadi dingin”. Mesin cetak itu mulai mengeluarkan bunyi, menarik kertas
kosong ke dalam, lalu mengeluarkannya dengan tulisan-tulisan yang sudah
disimpan dalam flashdisk. Tangan Nida sibuk mengambil dan menyusun hasil
cetakannya.
Setelah kertas terakhir, Nida berucap terima
kasih. “Ini mau dimati’in ngga’?” tanya Nida. Nisa mengangguk pelan. Ia
bergerak perlahan kembali menatap buku Psikologi.
“Aku tidur duluan, ya Nis”. Kemudian ia beranjak
pelan keluar, menutup pintu perlahan seolah tak mau mengganggu konsentrasi
Nisa.
Udara dingin makin manambah sepi. Setelah Nida
keluar, tak ada lagi suara. Baik di dalam kamarnya ataupun di sekeliling.
Pipinya mulai memerah akibat udara dingin yang makin menjadi-jadi. Kalau bukan
karena kuis besok pagi, mungkin ia sudah nyungsep ke kasur di belakang posisi
duduknya. Sedari tadi, kasur itu seakan terus-terusan melambai pada dirinya,
menarik pelan tubuhnya, tapi wajah sangar Prof. Harun selalu saja muncul di
saat ia hampir menyentuh kasur.
Secepat kilat ia menarik selimut tebal berwarna
biru lembayung di pojok kanan kamar. Kini tubuhnya menghilang di balik selimut
tebal itu. haahh… Annisa tersenyum nyaman dengan kehangatan selimut buatan
mamanya. Tak sadar ia terbawa kehangatan itu ke alam mimpi. Terus terlelap
tanpa halangan wajah prof. Harun yang kini wajahnya menjadi begitu lucu.
Kumisnya melingkar bak kumis pak Raden. Pipinya makin empal bak badut.
Kini Annisa terbawa jauh ke dalam memori yang
telah lama dan berada jauh di bawah tumpukan file-file lain.
..............................................
Waktu
itu mereka berlima dan teman-teman yang lainnya sedang mengaji. Annisa selalu
menyukai saat-saat ini. lantunan surah Al-Ma’un yang sering dibacakan Hasan
sungguh membuatnya tenang. Ayat Al-Qur’an yang penuh dengan pedoman hidup
bahagia dunia dan akhirat, ditambah suara Hasan, yang selalu menjadi dambaan
Annisa, membuat semua komplit rasanya. Ketenangan itu tak hanya dirasakan Nisa,
tapi Kak Hendro yang mengajar mengaji, Rania, Wicaksana, dan juga Dila. Hasan
terlahir dari keluarga Islam yang kuat, namanya saja sudah seperti nama orang
Arab, Hasan Al-Abror.
Dila
selalu tersenyum bila mendengar Hasan melantunkan ayat Al-Qur’an. Tapi tak ada
yang dapat menangkap senyum kecil Dila, kecuali Nisa. Nisa selalu awas pada
senyum Dila, sekilas dan tanpa bekas. Walaupun Nisa bertanya pada Dila apakah
ia suka pada Hasan atau tidak, Dila hanya terdiam. Ia tak pernah mau
berkata-kata.
***
“Kau bisa menjawab kuis tadi Nis?” Rita memukul
pelan pundak Nisa yang duduk di bangku memanjang di taman Fakultas Ekonomi.
Jilbabnya sedikit tertarik ke belakang.
“Huh, begitulah Ta. Susah” ucap Annisa pasrah.
Nilai di mata kuliah ini selalu saja tak jauh dari C. Jadi mau berusaha sekeras
apapun hasilnya pasti C. Dosen satu itu memang pelit buat memberi nilai.
“Pulang nanti kita ke toko buku dulu” ujar Nisa.
“Kau mau beli buku apa, Nis?” tanyanya.
“Restu bilang ada novel bagus” jelasnya. “Aku
mau lihat-lihat dulu, kalau bagus baru kubeli”.
“Restu anak Sastra ya, Nis?”. Nisa mengangguk
pelan.
“O, ya. Katanya ada dosen pengganti pak Joko”
ujar Rita semangat. Rita memang kurang menyukai mata kuliah Al-Islam yang
diajarkan pak Joko, jadi kalau ada berita seperti ini, baginya ini adalah
berita terbaik, bagaikan ketiban uang segepok.
“Siapa?” tanya Nisa penasaran.
“Beritanya sih masih simpang siur. Tapi yang
pasti, pak Joko bakalan diganti selama 2 bulan” ujarnya dengan semangat yang
membara. Ia mengambil Hp dari tasnya. Mengangkatnya sambil memberi kode “minta
waktu” pada Annisa.
Ternyata Annida yang menelpon. Katanya mata
kuliah sebentar lagi bakalan dimulai. Bergegas Rita menarik Nisa menghambur
menuju kelas.
***
Mereka berlari tunggang langgang menelusuri
lorong-lorong kelas. Untunglah semua orang pengertian untuk membuka jalan,
kecuali…
Kecuali seorang wanita, mahasiswi fakultas
Kedokteran. Wanita itu, yang kalau tabir masa lalunya dapat dibaca oleh
orang-orang adalah sahabat baik Nisa. Tapi kini ia tak sedikitpun menyingkir,
malah kakinya disengaja menghalau jalan. Nisa yang lengannya masih saja ditarik
Rita, tak kuasa untuk menghentikan gerakannya yang tak terkontrol lagi.
Walhasil, terjatuhlah Annisa.
Sontak suasana menjadi riuh. Sebagian tertawa
dengan bahagianya, sebagian lain terdiam kaget hendak menolong. Wanita yang
menyebabkan semua ini terjadi, kini berdiri dengan angkuhnya dan tanpa
sedikitpun rasa bersalah di wajahnya.
Rita bersungut-sungut hendak menyembur wanita
itu, tapi Annisa menahannya. Dengan menarik napas panjang ia berucap “maaf”
pada wanita itu. Rita kebingungan dengan kejadian itu. tapi Annisa hanya menunjuk-nunjuk
jam tangan di lengan kirinya. Mereka kembali berlari meninggalkan tempat ini.
Tapi sayang, mereka telat sampai di kelas.
Peraturan dari pak Irwan, dosen MPK mereka adalah “toleransi telat itu hanya
lima menit”. Jika lewat, maka dilarang masuk. Mereka lewat 20 menit, jelas tak
ada lagi toleransi. Dalam tempo 20 menit pula mereka dihujani ceramah keras
oleh pak Irwan.
Kepala Annisa rasanya melayang-layang, tak hanya
karena pak Irwan tapi juga karena kejadian yang membuatnya terjatuh tadi.
Wanita itu adalah Rania. Buat Rania, tak ada lagi yang namanya sahabat sejati.
Semua itu sudah tiada artinya lagi.
Rita hanya terduduk lesu disamping Nisa, sudah 2
kali ia tak masuk kelas pak Irwan. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan
terjadi bila samapi 3 kali ia tak masuk.
“Kita ke toko buku yuk!” Ajak Nisa. Senyumnya
terlepas, seolah menghapus kemurungan di hatinya. Rita hanya bisa mengangguk
tanda setuju. Rasanya badan yang ia bawa terasa berat akibat mata kuliah satu
ini.
***
Matahari di barat mulai mencapai garis
horizontal pandangan saat manusia tidak menengadahkan kepalanya. Warna kuning
oranye tertutup oleh awan putih sedikit keabu-abuan. Nisa dan Rita masih
berjalan gontai. Kali ini bukan karena pak Irwan. Tapi karena efek keliling
toko-toko buku hanya untuk mencari buku yang dibilang Nisa.
Sebuah etalase bertuliskan “Cafe Elitte” membuat
Nisa menarik tangan Rita untuk masuk ke dalamnya. Kerongkongan mereka tak
sanggup lagi bertahan barang sebentar.
Mereka duduk saling berhadapan, tapi tidak
bertatapan. Seorang pelayan membawakan 2 buah jus di dalam gelas panjang. Nisa
mengangkat kepalanya untuk menoleh pada pelayan itu sambil tersenyum terima
kasih.
“Memangnya novel itu tentang apa sih?” tanya
Rita. Perlahan ia menyusupkan ujung pipet dari gelas itu ke sela bibirnya.
Tangannya menunjuk pada novel paling atas di samping kiri Nisa.
Annisa menggeleng kecil. “Kata Restu sih,
tentang wanita yang belajar untuk berbuat kebaikan” ucapnya sambil membolak
balik buku berjudul Meniti Permadani
itu.
“Nis”
Nisa hanya bergumam pendek menanggapi Rita.
Matanya masih saja sibuk dengan kata-kata di belakang novel itu.
“kalau menurutku, Restu suka kamu, Nis” ujar
Rita.
“Ngaco kamu Ta” Nisa membetulkan posisi duduknya
yang tadi sedikit merosot. Ia tersenyum atas argumen Rita.
“Tapi Selalu dia yang peduli buat memberi tahumu
tentang buku-buku bagus”
Nisa menggoyang-goyangkan pipetnya seolah
mengaduk isi jus di depannya. “Itu sih biasa. Dia kan memang suka baca buku,
jadi jelas dia tahu buku-buku bagus. Terus berhubung dia tahu aku suka baca
buku juga, dia kasih tahu aku”
Rita berhenti untuk menjawab ucapan Nisa tadi.
Belum cukup bukti bila ia hendak melanjutkan praduganya. Pasti tetap Nisa yang
bakalan menang saat ini.
To be continued...