NOVEL: SAJAK-SAJAK RAMPA (BAB I)





Beberapa buku psikologi perkembangan berserakan di dekat tangan kiri Annisa. Kalau boleh dan kalau bisa, mungkin buku-buku di hadapannya telah raib dari pandangan. Rasanya lelah mulai menggerayangi Annisa. 4 jam hanya untuk menatap isi buku yang sama. Kuis besok pagi di kelas Prof. Harun terus membayangi matanya yang berulang kali membuka-tutup.
Kalau untuk mata kuliah lain ia bisa cukup santai. Tapi untuk mata kuliah yang satu ini sungguh begitu sulit. Sangat sedikit materi yang bisa ia tangkap. Metode yang dipakai-pun sungguh memperumit pemikirannya. Benar-benar bukan mata kuliah idola.
TOK…TOK…
Sebuah ketukan cukup halus menyentuh daun pintu kamar Annisa. Setelah mendapat persetujuan dari empunya kamar, yang mengetuk pintu pun mendorong daun pintu ke dalam kamar Nisa. Annida tersenyum garing sambil memegang kenop pintu.
“Kenapa Nid?” tanya Nisa keheranan.
Nida menarik napas namun dengan senyum yang tak memudar. Sebenarnya Nisa juga sudah tahu apa yang mau dilaku’in teman seasramanya ini.
“Nis, aku mau numpang nge-print ya” ucapnya sambil tersenyum.
Anggukkan Nisa membuat Nida berjalan maju makin ke dalam kamar mendekati komputer Nisa. Karena sudah sering, jadi Nida sendiri yang menghidupkan komputer. Nisa hanya memperhatikan dari meja belajarnya.
“Kau sudah hapal Nis?” tanyanya. Berhubung mereka teman sefakultas, dan hampir selalu sekelas dalam tiap mata kuliah, jadi Nida dan Nisa selalu saling mengingatkan.
Nisa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya tanpa menjauhkan tatapan dari buku di hadapannya yang masih terbuka. “Kau?” tanyanya.
“Aku menyerah Nis, usaha sudah. Jadi tinggal berdo’a saja” ucapnya begitu pasrah. Ia memasukkan flashdisk-nya. Mengutak-atik layar di monitor.
“Semoga kita bisa, ya” ucap Nisa. Hahhh…inilah nasib 2 orang yang sama fakultas, namun sama-sama payah di bidang yang sama. Walhasil, mereka hanya bisa bahu-membahu untuk berbagi semangat.
Nisa beranjak malas mendekati Nida. Ia mengambil beberapa kertas A4 dari bawah lacinya. Memasukkannya pada printer. “Kok sepi ya Nid?” tanya Nisa.
Memang tak seperti biasanya asrama ini sepi. Padahal kalau belum pukul 10 malam, di asrama ini begitu ramai. Sampai-sampai Bu Aisyah yang punya asrama memberi julukan “Bebek Asrama” pada seluruh anak-anak perempuan. Kebetulan enggak ada laki-laki  di sini. Kok bisa? Namanya juga “Asrama Wanita Aisyah”, mana ada laki-laki yang mau masuk ke asrama ini. kalau ia masih mau masuk, itu berarti ia lelaki jadi-jadian.
“Sudah tidur, Nis. Gara-gara hujan tadi, udara sekarang jadi dingin”. Mesin cetak itu mulai mengeluarkan bunyi, menarik kertas kosong ke dalam, lalu mengeluarkannya dengan tulisan-tulisan yang sudah disimpan dalam flashdisk. Tangan Nida sibuk mengambil dan menyusun hasil cetakannya.
Setelah kertas terakhir, Nida berucap terima kasih. “Ini mau dimati’in ngga’?” tanya Nida. Nisa mengangguk pelan. Ia bergerak perlahan kembali menatap buku Psikologi.
“Aku tidur duluan, ya Nis”. Kemudian ia beranjak pelan keluar, menutup pintu perlahan seolah tak mau mengganggu konsentrasi Nisa.
Udara dingin makin manambah sepi. Setelah Nida keluar, tak ada lagi suara. Baik di dalam kamarnya ataupun di sekeliling. Pipinya mulai memerah akibat udara dingin yang makin menjadi-jadi. Kalau bukan karena kuis besok pagi, mungkin ia sudah nyungsep ke kasur di belakang posisi duduknya. Sedari tadi, kasur itu seakan terus-terusan melambai pada dirinya, menarik pelan tubuhnya, tapi wajah sangar Prof. Harun selalu saja muncul di saat ia hampir menyentuh kasur.
Secepat kilat ia menarik selimut tebal berwarna biru lembayung di pojok kanan kamar. Kini tubuhnya menghilang di balik selimut tebal itu. haahh… Annisa tersenyum nyaman dengan kehangatan selimut buatan mamanya. Tak sadar ia terbawa kehangatan itu ke alam mimpi. Terus terlelap tanpa halangan wajah prof. Harun yang kini wajahnya menjadi begitu lucu. Kumisnya melingkar bak kumis pak Raden. Pipinya makin empal bak badut.
Kini Annisa terbawa jauh ke dalam memori yang telah lama dan berada jauh di bawah tumpukan file-file lain.

..............................................

Waktu itu mereka berlima dan teman-teman yang lainnya sedang mengaji. Annisa selalu menyukai saat-saat ini. lantunan surah Al-Ma’un yang sering dibacakan Hasan sungguh membuatnya tenang. Ayat Al-Qur’an yang penuh dengan pedoman hidup bahagia dunia dan akhirat, ditambah suara Hasan, yang selalu menjadi dambaan Annisa, membuat semua komplit rasanya. Ketenangan itu tak hanya dirasakan Nisa, tapi Kak Hendro yang mengajar mengaji, Rania, Wicaksana, dan juga Dila. Hasan terlahir dari keluarga Islam yang kuat, namanya saja sudah seperti nama orang Arab, Hasan Al-Abror.
Dila selalu tersenyum bila mendengar Hasan melantunkan ayat Al-Qur’an. Tapi tak ada yang dapat menangkap senyum kecil Dila, kecuali Nisa. Nisa selalu awas pada senyum Dila, sekilas dan tanpa bekas. Walaupun Nisa bertanya pada Dila apakah ia suka pada Hasan atau tidak, Dila hanya terdiam. Ia tak pernah mau berkata-kata.

***

“Kau bisa menjawab kuis tadi Nis?” Rita memukul pelan pundak Nisa yang duduk di bangku memanjang di taman Fakultas Ekonomi. Jilbabnya sedikit tertarik ke belakang.
“Huh, begitulah Ta. Susah” ucap Annisa pasrah. Nilai di mata kuliah ini selalu saja tak jauh dari C. Jadi mau berusaha sekeras apapun hasilnya pasti C. Dosen satu itu memang pelit buat memberi nilai.
“Pulang nanti kita ke toko buku dulu” ujar Nisa.
“Kau mau beli buku apa, Nis?” tanyanya.
“Restu bilang ada novel bagus” jelasnya. “Aku mau lihat-lihat dulu, kalau bagus baru kubeli”.
“Restu anak Sastra ya, Nis?”. Nisa mengangguk pelan.
“O, ya. Katanya ada dosen pengganti pak Joko” ujar Rita semangat. Rita memang kurang menyukai mata kuliah Al-Islam yang diajarkan pak Joko, jadi kalau ada berita seperti ini, baginya ini adalah berita terbaik, bagaikan ketiban uang segepok.
“Siapa?” tanya Nisa penasaran.
“Beritanya sih masih simpang siur. Tapi yang pasti, pak Joko bakalan diganti selama 2 bulan” ujarnya dengan semangat yang membara. Ia mengambil Hp dari tasnya. Mengangkatnya sambil memberi kode “minta waktu” pada Annisa.
Ternyata Annida yang menelpon. Katanya mata kuliah sebentar lagi bakalan dimulai. Bergegas Rita menarik Nisa menghambur menuju kelas.

***

Mereka berlari tunggang langgang menelusuri lorong-lorong kelas. Untunglah semua orang pengertian untuk membuka jalan, kecuali…
Kecuali seorang wanita, mahasiswi fakultas Kedokteran. Wanita itu, yang kalau tabir masa lalunya dapat dibaca oleh orang-orang adalah sahabat baik Nisa. Tapi kini ia tak sedikitpun menyingkir, malah kakinya disengaja menghalau jalan. Nisa yang lengannya masih saja ditarik Rita, tak kuasa untuk menghentikan gerakannya yang tak terkontrol lagi. Walhasil, terjatuhlah Annisa.
Sontak suasana menjadi riuh. Sebagian tertawa dengan bahagianya, sebagian lain terdiam kaget hendak menolong. Wanita yang menyebabkan semua ini terjadi, kini berdiri dengan angkuhnya dan tanpa sedikitpun rasa bersalah di wajahnya.
Rita bersungut-sungut hendak menyembur wanita itu, tapi Annisa menahannya. Dengan menarik napas panjang ia berucap “maaf” pada wanita itu. Rita kebingungan dengan kejadian itu. tapi Annisa hanya menunjuk-nunjuk jam tangan di lengan kirinya. Mereka kembali berlari meninggalkan tempat ini.
Tapi sayang, mereka telat sampai di kelas. Peraturan dari pak Irwan, dosen MPK mereka adalah “toleransi telat itu hanya lima menit”. Jika lewat, maka dilarang masuk. Mereka lewat 20 menit, jelas tak ada lagi toleransi. Dalam tempo 20 menit pula mereka dihujani ceramah keras oleh pak Irwan.
Kepala Annisa rasanya melayang-layang, tak hanya karena pak Irwan tapi juga karena kejadian yang membuatnya terjatuh tadi. Wanita itu adalah Rania. Buat Rania, tak ada lagi yang namanya sahabat sejati. Semua itu sudah tiada artinya lagi.
Rita hanya terduduk lesu disamping Nisa, sudah 2 kali ia tak masuk kelas pak Irwan. Ia tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi bila samapi 3 kali ia tak masuk.
“Kita ke toko buku yuk!” Ajak Nisa. Senyumnya terlepas, seolah menghapus kemurungan di hatinya. Rita hanya bisa mengangguk tanda setuju. Rasanya badan yang ia bawa terasa berat akibat mata kuliah satu ini.

***

Matahari di barat mulai mencapai garis horizontal pandangan saat manusia tidak menengadahkan kepalanya. Warna kuning oranye tertutup oleh awan putih sedikit keabu-abuan. Nisa dan Rita masih berjalan gontai. Kali ini bukan karena pak Irwan. Tapi karena efek keliling toko-toko buku hanya untuk mencari buku yang dibilang Nisa.
Sebuah etalase bertuliskan “Cafe Elitte” membuat Nisa menarik tangan Rita untuk masuk ke dalamnya. Kerongkongan mereka tak sanggup lagi bertahan barang sebentar.
Mereka duduk saling berhadapan, tapi tidak bertatapan. Seorang pelayan membawakan 2 buah jus di dalam gelas panjang. Nisa mengangkat kepalanya untuk menoleh pada pelayan itu sambil tersenyum terima kasih.
“Memangnya novel itu tentang apa sih?” tanya Rita. Perlahan ia menyusupkan ujung pipet dari gelas itu ke sela bibirnya. Tangannya menunjuk pada novel paling atas di samping kiri Nisa.
Annisa menggeleng kecil. “Kata Restu sih, tentang wanita yang belajar untuk berbuat kebaikan” ucapnya sambil membolak balik buku berjudul Meniti Permadani itu.
“Nis”
Nisa hanya bergumam pendek menanggapi Rita. Matanya masih saja sibuk dengan kata-kata di belakang novel itu.
“kalau menurutku, Restu suka kamu, Nis” ujar Rita.
“Ngaco kamu Ta” Nisa membetulkan posisi duduknya yang tadi sedikit merosot. Ia tersenyum atas argumen Rita.
“Tapi Selalu dia yang peduli buat memberi tahumu tentang buku-buku bagus”
Nisa menggoyang-goyangkan pipetnya seolah mengaduk isi jus di depannya. “Itu sih biasa. Dia kan memang suka baca buku, jadi jelas dia tahu buku-buku bagus. Terus berhubung dia tahu aku suka baca buku juga, dia kasih tahu aku”

Rita berhenti untuk menjawab ucapan Nisa tadi. Belum cukup bukti bila ia hendak melanjutkan praduganya. Pasti tetap Nisa yang bakalan menang saat ini.


To be continued...