Annisa, Dila, Rania, Wicaksana dan Hasan. Mereka
masuk dalam SMA yang sama, SMA Budi Luhur 2. Sudah lewat 3 tahun mereka tak
berjalan ke sekolah bersama-sama. Kini, dapat satu sekolah merupakan hal yang
sungguh membahagiakan bagi mereka.
Annisa berjalan pelan melewati pinggiran
musholla, tas yang biasa ia bawa bila masuk ke musholla ia apit dengan kokoh.
Beberapa anak laki-laki berlarian di sekitarnya, seperti anak kecil. Langkah
kaki yang awalnya cepat itu, tiba-tiba berhenti tanpa aba-aba. Tubuhnya sedikit
condong ke samping, mendekati dinding. Matanya menatap ke arah seorang wanita
yang hampir sama gelagatnya dengan apa yang dilakukan Nisa sekarang, mengintip.
Entah apa yang dilakukan Dila di pojok sana, ia
benar-benar terlihat seperti sedang memata-matai. Anehnya lesung di pipi wanita
itu terus mengembang menyingkirkan hembusan angin yang berlalu menerpa
wajahnya. Ia menatap serius pada anak-anak basket yang sedang heboh
memperebutkan 1 bola basket.
Sebenarnya ini sudah hal kesekian yang menjadi
bukti Nisa kalau Dila itu menyukai seseorang yang sangat dekat dengan Nisa.
Jelas tak ada sosok lain yang selalu dilihat Dila, selain Hasan. Ya, Hasan
sedang bermain basket saat ini.
Bukan masalah sok tahu, atau sok ikut campur.
Tapi semua kejanggalan yang dilihat Nisa pada Dila ada di setiap kemunculan
Hasan. Ia tak pernah putus sholat dluha semenjak Hasan diangkat menjadi wakil
ketua Rohis, menatap dari jauh saat Hasan bermain basket dengan teman-temannya
sepulang sekolah.
***
“Wi, maaf bila bicaraku lancang” ucap Annisa. Ia
duduk di bangku panjang kantin Bu Atun. Suasana siang ini cukup terik sehingga
mereka memilih untuk pulang agak lebih lama dari biasanya.
“Ada apa Nis” tanya Wicaksana. Ia menyeruput es
teh yang baru saja dihidangkan.
“Adik papaku yang sekarang sudah jadi psikolog
di Jakarta, bilang Dila itu punya kelainan pada kejiwaannya”
“Maksudmu?” Wicaksana memutar posisi duduknya
menghadap Nisa.
“Ia punya obsesi kesendirian yang berlebihan, ia
selalu murung. Pernah kau dengar ia
mengajak orang lain berbicara?” Annisa mulai ngotot.
Annisa memberikan tanda untuk berhenti sejenak.
Terburu-buru ia membuka risleting tas kelabu yang masih disandangnya. Sebuah
buku ditariknya keluar. Wicaksana masih melotot, berusaha melebarkan pupil
matanya yang sebenarnya sudah mencapai batas maksimal.
“Di buku ini, semua hal tentang kelainan yang
diderita adikmu sungguh jelas” ia menyodorkan buku bertuliskan
MELANCHOLIA,
PSCHICOLOGY
DISORDER
. Wicaksana yang makin tak ngeh dengan apa yang dilakukan sobat karibnya itu sedikit menolak
ketika disuruh membaca buku itu. bukan karena ia tak percaya, tapi melihat
tebal buku yang dirasa kurang wajar itu yang membuat hati kecilnya memberontak.
Sampai berapa bulan membacanya? Itulah yang ia pikirkan.
“Ayo, baca” paksa Nisa lagi. Wicaksanapun luluh,
diraihnya buku tebal nan berat itu.
“Kelainan yang diderita Dila itu namanya
melankolia. Kelainan itu menyebabkan seseorang selalu memilih sendiri tanpa mau
berbaur dengan orang lain” jelas Nisa.
Wicaksana membuka beberapa lembar buku itu,
matanya terhenti, menatap sebuah gambar ilustrasi tentang penyakit itu.
sementara itu Nisa terus memberikan penjelasan.
“Wi, aku punya saran biar Dila dapat sembuh”
ucap Nisa sambil tersenyum seribu tanya. Wicaksana mengangkat kepalanya yang
sedari tadi masih memperhatikan isi buku itu.
Malam itu terasa sungguh sepi, Wicaksana
berjalan perlahan menelusuri lorong di dalam rumahnya menuju pintu depan yang
terbuka. Angin terus-terusan menghempas perlahan wajahnya.
Rumah itu begitu lengang. Ibunya tadi pergi
keluar, ke rumah Bibi Risa tetangga mereka. Kini yang memenuhi telinganya
hanyalah bunyi reyot lantai kayu yang ia injak dan debur ombak yang berjarak
kurang lebih 12 meter dari rumahnya.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Awalnya
ia hendak menutup pintu karena udara yang sungguh dingin, namun ia terhenti
sejenak menatap sosok Dila di pinggir kanan teras. Ia duduk seolah petapa, diam
seribu bahasa.
“Dil, bagaimana teman-temanmu? Baik-baik n’gak?”
ia duduk menghadap Dila yang masih saja diam. Mungkin apa yang dikatakan Nisa benar,
pikirnya. Apapun yang Wicaksana pertanyakan, Dila masih terus menutup rapat
mulutnya, terus mengatupkan sepasang bibir merahnya, seolah menyimpan emas yang
begitu berharga di dalam mulutnya.
Memang sungguh berat menjadi Dila, ia yang
melihat ayah mereka berdua saat terakhir kali ayahnya berbicara, saat terakhir
kali ayahnya tersenyum, saat terakhir kali ayahnya pergi meninggalkan mereka.
Bukan dengan kejadian yang wajar. Tetapi dengan hantaman keras truk barang yang
menghantam cepat ayahnya hingga harus tersungkur 4 meter dari posisi awalnya.
Dila yang saat itu ikut ayahnya untuk pergi ke
pasar juga harus terpental 2 meter. Tapi ia masih bisa diselamatkan, tak
seperti ayahnya yang sudah terbaring tak bernyawa. Jerit tangis Dila adalah
saat terakhir ia mau mengeluarkan suaranya. Sampai saat ini ia tak mau lagi tuk
berbicara.
Wicaksana beranjak dari posisinya tadi,
meninggalkan Dila. Ia meraih Hp di atas meja belajarnya, mengetik SMS pada Nisa
tanda setuju dengan apa yang hendak dilakukan Nisa. Semua agar Dila sembuh.
To be continued...