Selasa, 12 September 2017

Novel Sajak-Sajak Rampa : Bab III (2007)




Annisa, Dila, Rania, Wicaksana dan Hasan. Mereka masuk dalam SMA yang sama, SMA Budi Luhur 2. Sudah lewat 3 tahun mereka tak berjalan ke sekolah bersama-sama. Kini, dapat satu sekolah merupakan hal yang sungguh membahagiakan bagi mereka.
Annisa berjalan pelan melewati pinggiran musholla, tas yang biasa ia bawa bila masuk ke musholla ia apit dengan kokoh. Beberapa anak laki-laki berlarian di sekitarnya, seperti anak kecil. Langkah kaki yang awalnya cepat itu, tiba-tiba berhenti tanpa aba-aba. Tubuhnya sedikit condong ke samping, mendekati dinding. Matanya menatap ke arah seorang wanita yang hampir sama gelagatnya dengan apa yang dilakukan Nisa sekarang, mengintip.
Entah apa yang dilakukan Dila di pojok sana, ia benar-benar terlihat seperti sedang memata-matai. Anehnya lesung di pipi wanita itu terus mengembang menyingkirkan hembusan angin yang berlalu menerpa wajahnya. Ia menatap serius pada anak-anak basket yang sedang heboh memperebutkan 1 bola basket.
Sebenarnya ini sudah hal kesekian yang menjadi bukti Nisa kalau Dila itu menyukai seseorang yang sangat dekat dengan Nisa. Jelas tak ada sosok lain yang selalu dilihat Dila, selain Hasan. Ya, Hasan sedang bermain basket saat ini.
Bukan masalah sok tahu, atau sok ikut campur. Tapi semua kejanggalan yang dilihat Nisa pada Dila ada di setiap kemunculan Hasan. Ia tak pernah putus sholat dluha semenjak Hasan diangkat menjadi wakil ketua Rohis, menatap dari jauh saat Hasan bermain basket dengan teman-temannya sepulang sekolah.

***

“Wi, maaf bila bicaraku lancang” ucap Annisa. Ia duduk di bangku panjang kantin Bu Atun. Suasana siang ini cukup terik sehingga mereka memilih untuk pulang agak lebih lama dari biasanya.
“Ada apa Nis” tanya Wicaksana. Ia menyeruput es teh yang baru saja dihidangkan.
“Adik papaku yang sekarang sudah jadi psikolog di Jakarta, bilang Dila itu punya kelainan pada kejiwaannya”
“Maksudmu?” Wicaksana memutar posisi duduknya menghadap Nisa.
“Ia punya obsesi kesendirian yang berlebihan, ia  selalu murung. Pernah kau dengar ia mengajak orang lain berbicara?” Annisa mulai ngotot.
Annisa memberikan tanda untuk berhenti sejenak. Terburu-buru ia membuka risleting tas kelabu yang masih disandangnya. Sebuah buku ditariknya keluar. Wicaksana masih melotot, berusaha melebarkan pupil matanya yang sebenarnya sudah mencapai batas maksimal.
“Di buku ini, semua hal tentang kelainan yang diderita adikmu sungguh jelas” ia menyodorkan buku bertuliskan

MELANCHOLIA,
PSCHICOLOGY DISORDER

. Wicaksana yang makin tak ngeh dengan apa yang dilakukan sobat karibnya itu sedikit menolak ketika disuruh membaca buku itu. bukan karena ia tak percaya, tapi melihat tebal buku yang dirasa kurang wajar itu yang membuat hati kecilnya memberontak. Sampai berapa bulan membacanya? Itulah yang ia pikirkan.
“Ayo, baca” paksa Nisa lagi. Wicaksanapun luluh, diraihnya buku tebal nan berat itu.
“Kelainan yang diderita Dila itu namanya melankolia. Kelainan itu menyebabkan seseorang selalu memilih sendiri tanpa mau berbaur dengan orang lain” jelas Nisa.
Wicaksana membuka beberapa lembar buku itu, matanya terhenti, menatap sebuah gambar ilustrasi tentang penyakit itu. sementara itu Nisa terus memberikan penjelasan.
“Wi, aku punya saran biar Dila dapat sembuh” ucap Nisa sambil tersenyum seribu tanya. Wicaksana mengangkat kepalanya yang sedari tadi masih memperhatikan isi buku itu.
Malam itu terasa sungguh sepi, Wicaksana berjalan perlahan menelusuri lorong di dalam rumahnya menuju pintu depan yang terbuka. Angin terus-terusan menghempas perlahan wajahnya.
Rumah itu begitu lengang. Ibunya tadi pergi keluar, ke rumah Bibi Risa tetangga mereka. Kini yang memenuhi telinganya hanyalah bunyi reyot lantai kayu yang ia injak dan debur ombak yang berjarak kurang lebih 12 meter dari rumahnya.
Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri. Awalnya ia hendak menutup pintu karena udara yang sungguh dingin, namun ia terhenti sejenak menatap sosok Dila di pinggir kanan teras. Ia duduk seolah petapa, diam seribu bahasa.
“Dil, bagaimana teman-temanmu? Baik-baik n’gak?” ia duduk menghadap Dila yang masih saja diam. Mungkin apa yang dikatakan Nisa benar, pikirnya. Apapun yang Wicaksana pertanyakan, Dila masih terus menutup rapat mulutnya, terus mengatupkan sepasang bibir merahnya, seolah menyimpan emas yang begitu berharga di dalam mulutnya.
Memang sungguh berat menjadi Dila, ia yang melihat ayah mereka berdua saat terakhir kali ayahnya berbicara, saat terakhir kali ayahnya tersenyum, saat terakhir kali ayahnya pergi meninggalkan mereka. Bukan dengan kejadian yang wajar. Tetapi dengan hantaman keras truk barang yang menghantam cepat ayahnya hingga harus tersungkur 4 meter dari posisi awalnya.
Dila yang saat itu ikut ayahnya untuk pergi ke pasar juga harus terpental 2 meter. Tapi ia masih bisa diselamatkan, tak seperti ayahnya yang sudah terbaring tak bernyawa. Jerit tangis Dila adalah saat terakhir ia mau mengeluarkan suaranya. Sampai saat ini ia tak mau lagi tuk berbicara.

Wicaksana beranjak dari posisinya tadi, meninggalkan Dila. Ia meraih Hp di atas meja belajarnya, mengetik SMS pada Nisa tanda setuju dengan apa yang hendak dilakukan Nisa. Semua agar Dila sembuh.

To be continued...