Sabtu, 13 Januari 2018

IBU




Sungguh, ku kan kembali wahai ibu,
kan kucium kepala(kening)mu nan suci. 
Kan kutumpahkan semua rinduku, dan cium wanginya tangan kananmu.
Kan kubersihkan tanah di kedua telapak kakimu dengan pipiku ketika aku bertemu denganmu.
Ku kan mengairi tanah dengan airmataku karena bahagia engkau masih hidup.
Betapa sering engkau bergadang malam agar aku tidur terlelap.

Betapa sering kerongkonganmu kehausan asal aku bisa minum dengan puas, dengan kelembutanmu.
Ketika sakitku, aku tidak pernah melupakan airmatamu yang bercucuran seperti hujan.
Kau selalu bergadang karena menghawatirkan keselamatanku.
Pada hari perpisahan di suatu fajar, betapa lamanya waktu fajarku –bagiku.
Aku tak bisa berkata-kata mengungkapkan apa yang sudah engkau korbankan demi aku, anakmu.
Engkau mengatakan kekata yang manis, mengingatkan memori sepanjang hari-hariku.
Tidak mungkin engkau melihat dada yang lebih membuatmu rindu selain dadaku.
Tuhan semesta alam berpesan kepadaku untuk berbakti padamu wahai harapan hidupku.

Ridhamu adalah rahasia kesuksesanku dan cintamu adalah pembakar imanku
Karena ketulusan doamu, kesusahan dan sedihku lenyap.

Jika ada orang yang memisahkan aku. Maka engkaulah denyut nadi di jantungku, engkaulah cahaya di mataku.
Dan engkaulah nada di bibirku, dengan melihat wajahmu kecemasanku menghilang.
Ku kan kembali duhai ibu.
Dan aku tidak akan pernah betah dengan safarku.
Janji keduaku baru dimulai ketika ranting  telah tumbuh dengan bunga.
Jangan bersedih duhai ibuku….

Aku kan datang menjengukmu dengan berlinang airmata. Jangan berucap selamat tinggal duhai ibuku….
Setelah hari ini, tiada lagi perpisahan kecuali perpisahan karena kematian.

Ibu...

~Ahmed Bukhatir (yaa Ummi)