INGIN MEMPERKAYA KOSA KATA? TULISLAH PUISI



Tak dapat dipungkiri, untuk menjadi seorang penulis kita memerlukan wawasan yang luas mengenai kosa kata. Ya, kosa kata yang banyak dan juga variatif akan menjadikan tulisan-tulisan kita lebih hidup dan tidak monoton. Ini akan berdampak baik terhadap pembaca yang cenderung mudah bosan.
Sebenarnya, banyak sekali cara yang dapat kita lakukan untuk memperkaya kosa kata, entah itu dengan membaca buku-buku sastra atau mungkin membaca kamus bahasa Indonesia, misalnya. Tapi berapa orang sekiranya yang mau membaca kamus bahasa? Mungkin tidak sedikit. Tapi jika pertanyaannya menjadi “berapa orang yang dapat bertahan lebih dari 20 menit membacanya?” menurut saya jumlahnya akan semakin mengerucut drastis.
Ya, membaca kamus bukanlah pilihan yang paling tepat yang dapat kita gunakan. Meskipun ada yang dapat bertahan selama lebih dari 20 menit membacanya, pasti hanya sedikit yang bertahan di ingatan kita. Lalu, apakah ada cara yang lebih baik? Menulislah puisi.
Mengapa menulis puisi? Ada dua alasan mengapa menulis puisi dapat dijadikan media menambah kosa kata kita, diantaranya adalah sebagai berikut.


Pertama, menulis puisi berkaitan dengan lebih dari satu indera, hal ini jelas akan memperkuat ingatan kita. Bagaimana warnanya? Baunya? Teksturnya ketika disentuh? Rasanya ketika sampai di lidah? Serta suaranya ketika dipotong, misalnya.


Kedua, menulis puisi membutuhkan pendalaman informasi tentang cerita yang akan kita jadikan baris-baris yang apik dan enak dibaca. Sangat aneh ketika kita menggunakan kata-kata tapi tidak tahu makna sebenarnya. Apalagi kalau kata itu akan kita pakai sebagai makna konotasi.
Sebagai contoh, saya pernah menggunakan kata “Pagupon” pada puisi saya. Pernah mendengarnya? Ya, pagupon adalah istilah Indonesia untuk rumah burung merpati yang biasanya terbuat dari kayu. Berikut ini penggalan puisi “Pagupon Tua”

Gunamu sama
Hanya lama
Kalah,
Pada dunia

Bukan sia-sia
Pernah ada,
Dulunya

Pagupon pada masa lalu merupakan benda yang hampir rata-rata dimiliki orang, apalagi pada masa ketika merpati dijadikan media pengantar pesan. Setelah semakin berkembang teknologi, merpati mulai ditinggalkan. Orang-orang semakin berlomba membuat teknologi pengantar pesan yang lebih hemat waktu dan biaya. Jika memang masih ada yang memiliki pagupon di rumahnya, kemungkinan besar adalah pecinta merpati ataupun tempat-tempat penangkaran hewan ini. Namun, itupun bukan pagupon yang digunakan seperti dulu, mungkin telah diganti dengan kandang-kandang besi atau kawat. Puisi di atas sebenarnya tidak hanya menjelaskan tentang pagupon yang telah kalah oleh zaman, tetapi untuk banyak hal-hal yang ditinggalkan karena dianggap tak berguna lagi karena sudah kuno.
Nah, bayangkan. Jika minimal dalam satu puisi kita pakai satu kosa kata, entah berapa banyak lagi kosa kata yang mugkin dapat kita pahami maknanya dengan baik. Tentunya akan sangat banyak, jika kita membuat puisi yang banyak juga. Meskipun cara ini bisa dikatakan relatif lambat menambah kosa kata, tapi hasilnya bisa bertahan lama di otak kita. Apalagi menghasilkan karya untuk kita. Siapa yang akan lupa dengan karyanya sendiri coba? Selamat mencoba


Salam,