Pernahkah
anda merasa bahwa sebagian atau secara keseluruhan tubuh anda telah mati? Atau
mungkin kalian saat ini bukanlah diri anda yang hidup? Atau lebih parah lagi,
anda merasa bahwa tubuh anda kini hanya tinggal tulang berbalut kulit,
sementara bagian tubuh lain seperti daging dan organ-organ tubuh anda telah
membusuk? Bersyukurlah bagi anda yang tidak merasakan hal ini. Namun, bagi
kalian yang merasakannya, segera periksakan diri anda ke Psikiater.
Kondisi
dimana seseorang mengalami perasaan bahwa dirinya telah mati ataupun hanya
sebagian dari dirinya, merupakan gejala gangguan mental langka yang dikenal
dengan istilah Cotard Syndrome.
Sindrom ini berbeda dengan kondisi tubuh stroke ataupun mati rasa seperti yang
sering kita dengar. Karena pada kenyataannya, tubuh penderita masih berfungsi
seperti biasanya. penderita penyakit ini harus segera dibawa ke ahlinya karena
meskipun sindrom ini tergolong sindrom langka, tetapi sudah ada korban nyawa.
bahkan ada kasus dimana si penderita mati kelaparan karena merasa dirinya yang
telah mati tidak membutuhkan lagi aktivitas keduniaan seperti makan dan minum.
Cotard Syndrome
diambil dari nama seorang ahli saraf, Jules Cotard yang pada tahun 1800-an
mengidentifikasi kasus pertama dari sindrom ini. Pasiennya adalah seorang
perempuan yang menderita sebuah kondisi dimana ia merasa dirinya tidak memiliki
otak, saraf, dada, perut dan juga usus. Baginya, dirinya adalah kulit dan
tulang di tubuh yang membusuk.
Gejala
utama yang dialami oleh penderita adalah khayalan negasi. Pasien biasanya akan
menyangkal eksistensi mereka, bagian tubuh tertentu atau adalanya sebagian dari
tubuh mereka. Menurut Yamada K., Katsuragi S. dan Fuiji I. (1990), Cotard Syndrome diidentifikasikan
menjadi tiga tahapan yaitu, sebagai berikut:
1.
Tahap awal (Germination
stage), dimana depresi psikotik dan hipokondria muncul,
2.
Tahap perkembangan (Blooming stage), dimana sindrom mengalami perkembangan secara penuh
dan muncul delusi negasi,
3.
Tahap lanjutan (Chronic stage), dimana delusi dan juga depresi kejiwaan yang
dialami semakin parah.
Umumnya, penderita sindrom ini akan menarik
diri dari lingkungan sosial, termasuk mengabaikan kebersihan dan kesehatannya.
Khayalan negasi yang dialami menyebabkan penderita merasakan pandangan yang
berbeda dari kenyataan sebenarnya.
Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap
penderita sindrom ini, menunjukkan bahwa kondisi otak penderita memiliki
perbedaan dengan kondisi otak normal. Dikutip dari artikel “First interview with a dead man” oleh
Helen Thomson (2013), sebuah penelitian yang dilakukan oleh ahli saraf Zeman
dan Laureys terhadap seorang penderita Cotard
Syndrome menunjukkan hasil yang mengejutkan. Hasil pemantauan metabolisme
otak penderita menggunakan teknik PET (Positron
Emission Tomography), menunjukkan bahwa aktivitas metabolism pada otak
bagian frontal dan parietal penderita sangat rendah. Ini menunjukkan bahwa otak
penderita berada dalam kondisi vegetatif (kondisi pada saat seseorang dibius). Ilmuan
mengatakan bahwa bagian frontal dan parietal merupakan bagian default mode network, yaitu bagian
penting yang berguna agar seseorang dapat mengingat masa lalunya, merasakan
eksistensinya, memikirkan dirinya, dan juga menyadari bahwa dirinya adalah agen
dari sebuah tindakan yang dilakukannya sendiri. Artinya, penderita berada dalam
kondisi sadar tetapi dengan otak dalam keadaan tidak sadar.
Dikutip dari artikel “Towards Understanding Cotard’s Syndrome” oleh Hans Debruyne dan
Kurt Audenaert (2012), dikatakan bahwa belum ada pengobatan secara pasti yang
dapat menyembuhkan sindrom ini. Namun dari beberapa laporan penelitian yang
dilakukan para ahli, terapi electroconvulsive
merupakan metode yang ampuh dalam beberapa kasus, selain dari menggunakan antideppresant, antipsychotics ataupun gabungan keduanya.