Palembang, 19 Maret 1994
Angin berhembus mengusap lembut pipi Annisa yang
kini memerah. Itulah kebiasaan tubuhnya yang tak mampu dikendalikan. Pabila
udara begitu dingin, seperti pagi ini, pipinya akan berubah mirip badut. Tapi
ia tak peduli, cipratan air yang terus-terusan ditempa oleh teman-temannya
membasahi mukanya yang makin kedinginan.
Punya sahabat sejak kecil, itulah yang dialami
Annisa. Sampai umur tujuh tahunpun, mereka tetap bersama-sama. Entah kemanapun
mereka pasti bersama. Rania, Wicaksana, dan juga Hasan. Mereka terus-terusan
tertawa riang bersamaan tetesan air yang terus beterbangan di antara mereka.
Mereka berempat begitu bahagia, tapi tak seperti gadis kecil di pangkal
dermaga. Namanya Dila, adik Wicaksana. Tak ada secuil noktahpun kegembiraan
dari wajahnya.
Tak seperti kakaknya yang selalu tertawa. Rania
yakin kalau Wicaksana telah mengambil kegembiraan dari Dila dan dipakai untuk
dirinya sendiri. Tapi hipotesis itu tak mungkin terbukti, sekeras apapun Rania
berusaha membuktikannya.
Dila memang tak begitu akrab dengan yang
lainnya. Ia duduk di dekat Annisa dan lainnya di rampa-pun hanya karena diajak
Wicaksana. Ia selalu saja menyendiri, seakan menjauh dari keramaian, seakan
ingin terus memeluk kesunyian. Tatapannya sayu, sungguh tak sesuai dengan
anak-anak sebayanya. Sungguh berbeda dengan Wicaksana, walaupun mereka kembar.
to be continued...